Jumat, 18 Desember 2009

केम्बंग तिदुर्कू

Saya memiliki kebiasaan aneh tiap kali bangun tidur: mengingat-ingat mimpi. Nggak ada yang spesial dari "kembang tidur" yang kerap hinggap di istirahat malam saya. Namun saya sepertinya selalu tersangkut dalam pengalaman yang menjengkelkan dengan kata mimpi. Masalahnya satu: saya merasa kesulitan mengingat mimpi-mimpi saya—dengan atau setengah detail. Sama seperti peta dunia, rata-rata pengalaman dalam dunia mimpi selalu sulit saya catat di memori otak saya. Ketika ngobrol bareng, saya selalu jadi orang paling lemah menyampaikan narasi mimpi.

Karenanya, lantas timbul perasaan barangkali ada yang salah dalam diri saya. Atau minimal, ada yang kurang beres dengan ingatan saya. Awalnya saya menduga kalaulah saya satu-satunya orang yang berkarakter demikian. Saya penasaran ingin tahu. Saya buka internet, googling (pada detik ini, saya sadar tengah melakukan salah satu gaya hidup ala "microtrends"-nya Mark. J Penn). Dan ada beberapa maklumat yang saya dapat, yang sedikit banyak membantu menjawab perasaan saya kalau (jangan-jangan) benar ada yang tak beres di ingatan saya.

Dan informasi yang saya peroleh mengatakan kalau dugaan awal saya ternyata salah 100 persen. Satu situs menyebutkan bahwa tidak jarang seseorang mengalami kesulitan untuk mengingat mimpinya—apalagi merunutnya—usai bangun tidur. Sumber lain mengatakan bahwa kondisi gelombang otak sebelum bangun atau REM (Rapid Eye Movement) adalah yang menentukan seseorang bisa tidaknya mengingat mimpinya. Ada 4 tipe REM (Betha, Alpha, Tetha dan Delta). Dan seseorang yang kesusahan mengingat mimpinya usai bangun—berarti saya masuk kategori ini—dikatakan berada pada "kondisi mereka yang bangun pada fase lower betha (betha rendah)". Sumber lain menyebutkan bahwa di antara ragam mimpi ada jenis "mimpi terang" dimana "seseorang sadar kalau dirinya tengah bermimpi".

Kemudian saya lanjutkan googling, mencari tips-tips agar dapat mengingat mimpi dengan jelas. Saya temukan seabreg saran yang kebanyakan susah saya pahami sendiri. Bagi saya mimpi menjadi semacam sebuah dunia yang menyeretku secara tiba-tiba, yang hanya bisa kupahami sepotong-sepotong, lalu saya terpelanting di satu sudutnya, yang tampak di sekeliling hanya kabut dan kabut—seperti ketika Guido Orefice menggendong putranya, Giosué, kembali ke kamp konsentrasi Nazi dalam film Life is Beautiful 1997—dan di akhir mimpi selalu ada suspense yang sangat menarik tapi selalu tak bisa dengan mudah saya ingat.

Jika Anda bertanya kepada saya, "Why so serious? Mengapa mempermasalahkan mimpi yang konon hanya kembang tidur belaka?"

Akan saya jawab, "karena saya iri." Pada siapa? Pada mereka yang bisa dengan baik mengingat mimpi-mimpinya dan dengan intens menyampaikan narasinya. Saya lebih mempercayai bahwa kemampuan mengingat mimpi bukan masuk kategori sebuah bakat. Bagi saya semuanya masuk kategori "ilm muktasab" yang dapat diikhtiari secara sistematis dan gradual.

Tidak ada komentar: